Beranda | Artikel
Fikih Utang Piutang (Bag. 11): Hadiah dari Pengutang untuk Pemberi Utang
13 jam lalu

Tidak jauh berbeda dengan pembahasan sebelumnya, masih terkait dengan “manfaat” yang ada pada akad utang piutang. Pembahasan sebelumnya terkait dengan utang yang mendatangkan keuntungan atau manfaat. Adapun pembahasan ini terkait dengan “hadiah” yang diberikan oleh pengutang kepada pemberi utang dalam status utang belum lunas.

Apakah dalam kurun waktu berjalannya akad utang piutang, diperbolehkan bagi pengutang untuk memberikan sesuatu berupa hadiah, manfaat, dan lain sebagainya kepada pemberi utang? Ataukah justru hal ini terlarang?

Terkait dengan pembahasan ini, gambaran sederhananya adalah sebagaimana berikut ini:

A memiliki utang kepada B sebesar Rp1.000.000. Dalam status utang masih berjalan, A memberikan hadiah kepada B dengan nominal yang tidak besar. Inilah yang dimaksud dengan memberi hadiah dalam status utang masih berjalan.

Atau gambaran lain, yang sering terjadi yaitu:

A menitip untuk dibelikan nasi goreng kepada B dengan cara “ditalangi”, artinya menggunakan uang B terlebih dahulu. Sehingga dalam hal ini, statusnya adalah utang. A berutang kepada B seharga nasi goreng tersebut. Sesampainya B di rumah, A pun langsung mengajak B untuk makan nasi goreng yang dibeli tersebut bersama A, sebelum A membayar utangnya. Maka manfaat yang diterima oleh B (berupa makan nasi goreng bareng A) hukumnya adalah tambahan dari utang tersebut.

Hukum pemberian hadiah dari pengutang sebelum utang lunas

Secara hukum asal, pengutang tidak diperbolehkan memberikan hadiah apapun selama utang masih berstatus belum dilunasi. Karena tidaklah hadiah diberikan kecuali karena adanya utang piutang tersebut, istilahnya “karena pemberi utang sudah berbuat baik” atau dalam rangka membalas kebaikan pemberi utang. Sehingga pengutang pun ingin membalasnya dengan memberikannya hadiah.

Yang demikian ini tentunya tidak diperbolehkan. Sebagaimana kaidah yang telah berlalu, bahwasanya setiap tambahan manfaat dari utang piutang, maka hukumnya adalah riba.

Terkait dengan hal ini, terdapat hadis dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَقرَضَ أَحَدُكُم قَرضاً، فَأَهدَى لَهُ، أَو حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ، فَلَا يَركَبُهَا وَلَا يَقبَلُهُ، إِلَّا أَن يَكُونَ جَرَى بَينَهُ وَبَينَهُ قَبلَ ذَلِكَ

“Jika salah seorang dari kalian meminjamkan suatu pinjaman, kemudian pengutang memberikan kepadanya hadiah, atau (menawarkan) untuk membawanya di atas hewan tunggangannya, maka janganlah ia menunggangi hewannya dan menerimanya, kecuali jika hal tersebut sudah (biasa) terjadi antara dia dan peminjam sebelum adanya utang piutang tersebut.” (HR. Ibnu Majah dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani)

Selain hadis ini, terdapat atsar yang lain dari para sahabat akan terlarangnya hal yang demikian. Sebagaimana dalam hadis Abu Burdah, beliau berkata,
“Aku mendatangi Madinah, kemudian bertemu dengan Abdullah bin Salam radiyallahu ‘anhu, kemudian beliau berkata,

إِنَّكَ بِأَرضٍ الرِّبَا بِهَا فَاشٍ، إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ، فَأَهدَى إِلَيكَ حِملَ تِبنٍ، أَو حِملَ شَعِيرٍ، أَو حِملَ قَتٍّ ، فَلَا تَأخُذهُ فَإِنَّهُ رِبَا

“Sesungguhnya engkau berada di negeri yang riba telah menyebar di dalamnya. Jika engkau memiliki piutang atas seseorang, lalu ia menghadiahkan kepadamu satu muatan jerami, atau satu muatan jelai (gandum), atau satu muatan rumput kering, jangan engkau menerimanya, karena itu adalah riba.” (HR. Bukhari)

Sehingga hukum asalnya adalah pengutang tidak boleh memberikan hadiah atau yang semisalnya kepada pemberi utang, sebagaimana pula pemberi utang tidak boleh menerima pemberian hadiah atau yang semisalnya dari pengutang. Karena yang demikian termasuk riba.

Bolehnya memberikan hadiah pada beberapa keadaan

Dari hukum asal di atas, terdapat beberapa pengecualian berupa bolehnya memberikan hadiah ketika akad utang piutang sedang berlangsung. Hal seperti ini cukup banyak ditemukan di tengah-tengah masyarakat dalam bentuk yang beraneka ragam.

Setidaknya terdapat tiga pengecualian diperbolehkannya pengutang memberikan hadiah kepada pemberi utang:

Pertama, jika kebiasaan seperti itu (saling memberi hadiah) sudah terjadi sebelum akad utang piutang berlangsung. Maka hadiah tersebut boleh diterima, sebagaimana yang terdapat pada hadis dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu,

إِلَّا أَن يَكُونَ جَرَى بَينَهُ وَبَينَهُ قَبلَ ذَلِكَ

“Kecuali jika hal tersebut sudah (biasa) terjadi antara dia dan peminjam sebelum adanya utang piutang tersebut.”

Seperti halnya teman dekat, sahabat, kerabat, keluarga yang sudah terbiasa saling memberi hadiah. Tatkala akad utang piutang sedang berjalan, maka tidak mengapa pihak pengutang memberikan hadiah dan boleh bagi pemberi utang untuk menerimanya. Karena hadiah di sini bukan lagi soal “tambahan atau manfaat”, namun karena kebiasaan antara kedua belah pihak yang telah berjalan sebelum adanya akad utang piutang.

Kedua, jika pemberi pinjaman berniat untuk membalas hadiah itu dengan hal serupa yang bermanfaat bagi si pemberi hadiah (pengutang), maka boleh baginya menerimanya. Maksudnya, setelah pengutang memberikan hadiah, pemberi utang membalas kembali hadiah yang diberikan kepada pengutang.

Ketiga, jika hadiah itu diperhitungkan sebagai bagian dari pelunasan utangnya, maka hal inipun boleh diterima oleh pemberi utang. Yakni, pengutang menyampaikan bahwa hadiah itu seharga sekian, dan hadiah itu sebagai bentuk pembayaran dari sebagian utangnya.

Sehingga kesimpulan dari pembahasan ini, memberikan hadiah dalam kondisi akad utang piutang sedang berlangsung, hukum asalnya tidak diperbolehkan. Namun, terdapat beberapa pengecualian dari hukum asal ini, artinya boleh dalam beberapa keadaan sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Semoga penjelasan ini bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.

[Bersambung]

Kembali ke bagian 10

***

Depok, 25 Rabi’ul akhir 1447/ 18 Oktober 2025

Penulis: Zia Abdurrofi

Artikel Muslim.or.id

 

Referensi:

Disarikan dari kitab Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar.


Artikel asli: https://muslim.or.id/109953-fikih-utang-piutang-bag-11.html